RSS
Facebook
Twitter

Kamis, 30 Juni 2011

VARIABEL DAN HIPOTESIS

HIPOTESIS DAN VARIABEL

A. HIPOTESIS
1. Definisi Hipotesis
Trealese (1960) memberikan definisi hipotesis sebagai suatu keterangan sementara dari suatu fakta yang dapat diamati.
Good dan scates (1954) menyatakan bahwa hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah selanjutnya.
Kerlinger (1973) menyatakan hipotesis adalah pernyataan yang bersifat terkaan dari hubungan antara dua atau lebih variabel .
Dari arti katanya, hipotesis memang dari dua penggalan. Kata “HYPO” yang artinya “DI BAWAH” dan “THESA” yang artinya “KEBENARAN” jadi hipotesis yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis.
Apabila peneliti telah mendalami permasalahan penelitiannya dengan seksama serta menetapkan anggapan dasar, maka lalu membuat suatu teori sementara , yang kebenarannya masih perlu di uji (di bawah kebenaran). Inilah hipotesis peneliti akan bekerja berdasarkan hipotesis. Peneliti mengumpulkan data-datadata yang paling berguna untuk membuktikan hipotesis.
Terhadap hipotesis yang sudah dirumuskan peneliti dapat bersikap dua hal yakni :
a. Menerima keputusan seperti apa adanya seandainya hipotesisnya tidak terbukti (pada akhir penelitian).
b. Mengganti hipotesis seandainya melihat tanda-tanda bahwa data yang terkumpul tidak mendukung terbuktinya hipotesis (pada saat penelitian berlangsung).
Karena hipotesis adalah produk pendekatam berfikir deduktif maka hipotesis baru dapat disusun setelah peneliti melakukan kajian kepustakaan secara tuntas. Bahkan pernyataan hipotesis yang formal baru dapat dinyatakan dengan baik setelah rancangan (design) penelitiannya dirumuskan. Hipotesis diperlukan untuk mengarahkan langkah-langkah penelitian selanjutnya, seperti jenis dan sifat data yang akan dikumpulkan dan prosedur analisis yang dapat digunakan untuk analisis data. Perlu dicatat bahwa tidak semua penelitian memerlukan hipotesis. Dalam pandangan konservatif dapat dinyatakan hanya dalam penelitian kuantitatif yang akan menghasilkan data-data numeric akan dianalisis dengan prosedur statistik inferensial tentang hubungan, perbedaan dan dan sejenisnya peneliti dapat (atau perlu) mengajukan hipotesis. Dalam penelitian kuantitatif sekalipun mungkin tidak diperlukan hipotesis, misalnya dalam penelitian deskriptif.
Menurut Sugiyono (2007), penelitian yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, tidak dirumuskan hipotesis, tetapi justru diharapkan dapat ditemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis tersebut akan diuji oleh peneliti dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Dalam hal ini perlu dibedakan pengertian hipotesis penelitian dan hipotesis statistik. Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Selanjutnya hipotesis statistik itu ada, bila penelitian bekerja dengan sampel. Jika penelitian tidak menggunakan sampel, maka tidak ada hipotesis statistik.
2. Kegunaan Hipotesis
Kegunaan hipotesis antara lain:
a. Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang.
b. Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang langsung dapat diuji dalam penelitian.
c. Hipotesis memberikan arah kepada penelitian.
d. Hipotesis memberikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan
3. Jenis-jenis Hipotesis
Jenis-jenis hipotesis dalam penelitian adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis kerja (H1)
Hipotesis kerja adalah rumusan formal hasil analisis deduktif peneliti mengenai masalah yang dikajinya. Hipotesis ini biasanya dinyatakan dalam kalimat positif seperti “ada hubungan antara IQ dan pencapaian belajar untuk anak-anak dibawah tingkat kemampuan berfikir formal”.
b. Hipotesis nihil (H0)
Hipotesis nihil disusun untuk kepentingan pegujian statistik, dan dinyatakan dengan kalimat negative seperti “ tidak ada hubungan antara IQ dan pencapaian belajar untuk anak-anak dibawah tingkat kemampuan berfikir formal”. Hipotesis nihil inilah yang nantinya akan diterima atau ditolak dalam pengujian statistik.
4. Bentuk-bentuk hipotesis :
Bentuk-bentuk hipotesis penelitian sangat terkait dengan rumusan masalah penelitian. Bila dilihat dari tingkat eksplanasinya, maka bentuk rumusan masalah penelitian ada tiga, yaitu: rumusan masalah deskriptif (variable mandiri), komparatif (perbandingan) dan assosiatif (hubungan). Oleh karena itu, maka bentuk hipotesis penelitian juga ada tiga yaitu hipotesis deskriptif, komparatif dan assosiatif.
a. Hipotesis deskriptif
Hipotesis deskriptif merupakan jawaban sementara terhadap masalah deskriptif, yaitu yang berkenaan dengan variable mandiri.
b. Hipotesis komparatif
Hipotesis komparatif merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah komparatif. Pada rumusan ini variabelnya sama tetapi populasi atau sampelnya yang berbeda.
c. Hipotesis assosiatif
Hipotesis assosiatif adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah assosiatif, yaitu yang menanyakan hubungan antara dua variable atau lebih.
5. Syarat Hipotesis
Menurut Sukidin dkk (2002) Syara-syarat hipotesis adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis tidak boleh bertentangan dengan keadaan-keadaan, hukum-hukum, atau peraturan yang berlaku bagi akal manusia;
b. Hipotesis tidak boleh hanya merupakan suatu penyifatan yang bersifat deskriptif, tetapi harus sungguh-sungguh merupakan penjelasan;
c. Karena merupakan percobaan sementara, maka hipotesis harus mengandung kemungkinan adanya factor yang mendukung kebenaran.
6. Cara menguji hipotesis :
Pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Dengan eksperimen-eksperimen, pembuktian langsung dan tidak langsung, dan juga dengan bukti kemustahilan. Hipotesis harus dicek atau diverifikasikan. Pengecekan harus berjalan menurut garis tertentu, yang lancar tidaknya perjalanan pengecekan ialah dengan menambah keadaan-keadaan yang dapat dijelaskan dengan hipotesis.
2. Dengan mengambil kesimpulan yang logis dari hipotesis itu, yang cocok dengan pengalaman dan kenyataan yang telah diketahui.
3. Tidak perlu aadanya bantuan dari hipoteis lain, baik yang lebih tinggi maupun yang seimbang, karena di dalam dirinya sudah terkandung unsur yang cukup untuk menjelaskan fakta. Apabila terpaksa diperlukan hipotesis lain, hipotesis itu sifatnya hanya pembantu.
Bahwa pemakaian hipotesis itu harus dipakai sesuai, guna memenuhi kebutuhan, tetapi jangan sampai dipergunakan secara salah. Cara agar hipotesis tidak dipakai secara salah adalah pengalaman praduga, hipotesis yang didefinisikan itu harus dapat membuktikan kepastian suatu kenyataan. Hipotesis harus dapat merumuskan sesuatu yang diperkirakan, atau diharapkan dapat ditemukan dalam penelitian yang sedang dan akan dilaksanakan.
Keabsahan hasil penelitian bukan ditentukan oleh terbuktinya hipotesis. Bisa dan mungkin terjadi, hasil penelitian membuktikan hipotesis nol, bahkan negative. Hal semacam ini bukan berarti perumusan hipotesis salah. Ini dapat terjadi, mungkin karena ada suatu perkembangan permasalahan (sudarto, 1996).
7. Menggali dan Merumuskan Hipotesis
Dalam menggali hipotesis, peneliti harus:
a. Mempunyai banyak informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca literatur-literatur yang ada hubungannya dengan penelitian yang sedang dilaksanakan.
b. Mempunyai kemampuan untuk memeriksa keterangan tentang tempat-tempat, objek-objek serta hal-hal yang berhubungan satu sama lain dalam fenomena yang sedang diselidiki.
c. Mempunyai kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan lainnya yang sesuai dengan kerangka teori ilmu dan bidang yang bersangkutan.
Good dan scates memberikan beberapa sumber untuk menggali hipotesis :
1) Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang ilmu
2) Wawasan serta pengertian yang mendalam tentang suatu wawasan
3) Imajinasi dan angan-angan
4) Materi bacaan dan literatur
5) Pengetahuan kebiasaan atau kegiatan dalam daerah yang sedang diselidiki.
6) Data yang tersedia
7) kesamaan.
Sebagai kesimpulan , maka beberapa petunjuk dalam merumuskan hipotesis dapat diberikan sebagai berikut :
1) Hipotesis harus dirumuskan secara jelas dan padat serta spesifik
2) Hipotesis sebaiknya dinyatakan dalam kalimat deklaratif dan berbentuk pernyataan.
3) Hipotesis sebaiknya menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang dapat diukur.
4) Hendaknya dapat diuji
5) Hipotesis sebaiknya mempunyai kerangka teori.
Rumusan hipotesis tindakan sedikit bebeda dengan hipotesis penelitian konvensional. Jika hipotesis konvensional menyatakan adanya hubungan anatara dua variabel atau lebih akan menyatakan adanya perbedaan mean antara dua kelompok atau lebih, maka hipotesis tindakan tidak menyatakan demikian. Akan tetapi menyatakan “ jika tindakan ini dilakukan dengan baik, maka tindakan ini akan merupakan suatu pemecahan problem yang baik”. Contoh lain ”jika orang tua/wali murid diikutsertakan dalam proses pembuatan rencana sekolah, maka partisipasi orang tua/wali murid akan semakin tinggi”.
Menurut darsono (1996), untuk merumuskan hipotesis tindakan, peneliti dapat melakukan :
1. Kajian teori pembelajaran dan teori pendidikan,
2. Kajian hasil-hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan,
3. Kajian hasil diskusi dengan rekan sejawat, pakar, peneliti, dan lain-lain, serta
4. Kajian pendapat dan saran pakar pendidikan.
Dari hasil kajian tersebut, menurut Darsono dapat diperoleh landasan untuk membangun hipotesis tindakan. Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan kelayakan tindakan atas dasar situasi riil dan situasi ideal atau harapan. Sebab jika terdapat jarak yang jauh dan tidak di upayakan menjembatani, maka tindakan yang dilakukan tidak akan meimbulkan hasil secara optimal. Oleh karena itu, kondisi dan situasi yang dipersyaratkan untuk dipenuhi jangan terlalu ideal yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh guru SD. Peneliti hendaknya realistis terhadap kenyataan keseharian dunia ke SD an dimana guru berada dan melaksanakan tugasnya.
Lebih lanjut, Darsono menguraikan lima hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan hipotesis tindakan, yaitu :
a. Rumusan alternative-alternatif tindakan untuk pemecahan-pemecahan masalah berdasarkan hasil kajian. Alternatif tindakan hendaknya mempunyai landasan yang mantap secara teoritis dan/atau konseptual.
b. Setiap alternative pemecahan yang diusulkan perlu dikaji ulang atau dievaluasi dari segi bentuk tindakan dan prosedurnya, segi kelayakan, kemudahan, kepraktisan (hasil segera dilihat), dan optimalisasi hasil serta cara penilaiannya.
c. Pilih alternatif tindakan dan prosedur yang dinilai paling menjanjikan hasil optimal dan dapat dilakukan oleh guru dalam kondisi dan situasi dunia SD.
d. Tentukan langkah-langkah untuk melaksanakan tindakan dan cara-cara untuk mengetahui hasionya.
e. Tentukan cara untuk menguji hipotesis tindakan guna membuktikan bahwa dengan tindakan yang dilakukan telah terjadi perubahan, perbaikan, atau peningkatan dengan keyakinan.
B. VARIABEL
1. Pengertian Dan Jenis Variabel
Secara teoritis variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang, atau obyek, yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu obyek dengan obyek yang lain. Variabel juga dapat merupakan atribut dari bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Tinggi, berat badan, sikap, motivasi, kepemimpinan, disiplin, merupakan atribut-atribut dari setiap orang. Berat, ukuran, bentuk, dan warna merupakan atribut-atribut dari obyek.
Dinamakan variabel karena ada variasinya. Misalnya berat badan dapat dikatakan variabel, karena berat badan sekelompok orang itu bervariasi antara satu orang dengan yang lain. Demikian juga motivasi, persepsi dapat juga dikatakan sebagai variabel karena misalnya persepsi dari sekelompok orang tentu bervariasi. Jadi kalau peneliti akan memilih variabel penelitian, baik dimiliki orang atau obyek, maupun bidang kegiatan atau keilmuan tertentu, maka harus ada variasinya. Variabel yang tidak ada variasinya bukan dikatakan sebagai variabel. Untuk dapat bervariasi, maka penelitian harus didasarkan sekelompok sumber data atau obyek yang bervariasi.
Dari penjelasan diatas maka dapat dirumuskan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007).
Variabel adalah suatu konsep yang mempunyai lebih dari satu nilai, keadaan, kategori, atau kondisi. Dalam penelitian, peneliti memusatkan perlatiannya untuk menjelaskan hubungan-hubungan yang ada antar variabel. Apakah ini hubungan sebab akibat atau korelasional. Variabel dibeda-bedakan jenisnya berdasarkan kedudukannya dalam suatu penelitian. Dalam suatu penelitian yang mempelajari hubungan sebab akibat antar variabel, dapat di definisikan beberapa jenis variabel yaitu: variabel terikat, variabel bebas, variabel moderator, variabel control, dan variabel antara atau inverning (Tuckman,1978). Hubungan antar variabel tersebut dalam penelitian ditunjukkan dalam diagram berikut:





a) Variabel Terikat
Variabel terikat (dependent variabel) adalah variabel respon atau output. Sebagai variabel respon berarti ini akan muncul sebagai akibat dari manipulasi suatu variabel-variabel yang dimanipulasikan dalam penelitian, yang disebut sebagai variabel bebas (Kerlinger, 1979). Dalam ilmu tingkah laku, variabel terikat adalah aspek tingkah laku yang diamati dari suatu organism yang telah dikenai stimulus. Dengan kata lain, variabel terikat adalah factor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya pengaruh dari variabel bebas.
b) Variabel Bebas
Variabel bebas (independent variabel) adalah variabel yang diduga sebagai sebab munculnya variabel yang lain, dalam konteks ini variabel lain yang dimaksud adalah variabel terikat. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur untuk diketahui hubungannya (pengaruhnya) dengan variabel lain. Dalam ilmu tingkah laku, variabel bebas biasanya merupakan stimulus atau input yang beroperasi dalam diri seseorang atau di dalam lingkungannya untuk mempengaruhi tingkah laku.
c) Variabel Moderator
Variabel moderator adalah sebuah tipe khusus variabel bebas, yaitu variabel bebas sekunder yang diangkat untuk menentukan apakah ia mempengaruhi hubungan antara variabel bebas primer dan variabel terikat (Best, 1997 ; Tuckman, 1978). Variabel moderator adalah factor yang diukur, dimanipulasi atau dipilih peneliti untuk mengungkap apakah factor tersebut mengubah hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
d) Variabel Kontrol
Tidak semua variabel didalam suatu oenelitian dapat dipelajari sekaligus dalam waktu yang sama. Beberapa diantara variabel tersebut harus dinetralkan pengaruhnya untuk menjamin agar variabel yang dimaksud tidak mengganggu hubungan anatara variabel terikat dan variabel bebas. Variabel-variabel yang pengaruhnya harus dikontrol tersebut disebut variabel control. Jadi variabel control adalah factor-faktor yang dikontrol atau dinetralkan oleh peneliti karena jika tidak demikian diduga iktu mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel moderator berbeda dengan variabel kontrol. Penetapan suatu variabel menjadi variabel moderator adalah untuk dipelajari (dianalisis) pengaruhnya, sedangkan penetapan suatu variabel menjadi variabel control adalah untuk dinetralkan/dissamakan pengaruhnya.

e) Variabel Antara (Intervening)
Semua variabel yang telah diuraikan di atas adalah variabel-variabel yang kongkrit (nyata). Variabel bebas, variabel moderator, dan variabel control masing-masing dapat dimanipulasi oleh peneliti dan dapat diamati (diukur) pengaruhnya terhadap variabel terikat. Apabila suatu variabel yang ingin diketahui pengaruhnya terhadap variabel terikat ternyata tidak dapat diamati (diukur) karena terlalu abstrak, maka variabel tersebut baisanya dipandang sebagai variabel antara (Intervening). Jadi variabel antara adalah factor yang secara teoritik mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat tetapi tidak dapt dilihat sehingga tidak dapat diukur atau dimanipulasi. Pengaruh variabel intervening terhadap variabel terikat hanya dapat diinferensikan berdasarkan pengaruh variabel bebas dari/atau variabel moderator terhadap variabel terikat.
2. Perumusan Definisi Operasional
Variabel yang telah diidentifikasi secara operasional, sebab setiap istilah (variabel) dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang berkaitan. Penelitian adalah proses komunikasi dan komunikasi memerlukan akurasi bahsa agar tidak menimbulkan perbedaan pengertian antar orang dan agar orang lain dapat mengulangi penelitian tersebut. Ada definisi operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi, komunikasi, dan replikasi.
Ada berbagai cara untuk mendefinisiakan suatu variabel. Adakalanya definisi tersebut seperti sinonim atau konseptual. Sinonim dari suatu variabel biasanya dapat ditemukan di kamus, sedangkan definisi mengenai apa dan mengapanya sesuatu, dan biasanya dapat ditemukan di buku teks. Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati daris sesuatu yang didefinisikan tersebut. Jarakteristik yang dapat diamati (diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena yang kemudian dapat diulangi lagi oleh orang lain. Sebaliknya, definisi konseptual mendeskripsikan sesuatu berdasarkan criteria konseptual atau hipotetik dan bukan pada cirri-ciri yang dapat diamati. Tuckman (1978) membedakan tiga tipe definifi operasional sebagai berikut :
a) Definisi Operasional Tipe A
Definisi operasional tipe A dapat dirumuskan dalam bentuk suatu tindakan yang harus dilakukan untuk memunculkan fenomena atau keadaan seperti apa yang dimaksud. Definisi ini banyak diterapkan di penelitian eksperimental. Dalam hal ini definisi operasional berupa suatu pernyataan tentang manipulasi atau prakondisi apa yang harus diciptakan oleh peneliti untuk menunjukkan bahwa suatu fenomena atau keadaan tertentu timbul atau terjadi.
b) Definisi OperasionalTipe B
Definisi operasional tipe B dapat dirumuskan dalam bentuk deskripsi tentang bagaimana suatu obyek (benda tertentu) beroperasi, yakni apa yang dilakukan atau terdiri dari apa cirri-ciri dinamis obyek tersebut.
Definisi operasional B ini sering dipakai untuk variabel-variabel dalam lingkungan pendidikan untuk mendeskripsikan tipe-tipe orang. Karena cirri-ciri dinamik seseorang tercermin sebagai tingkah laku, maka definisi B ini mendeskripsi tipe orang tertentu dalam bentuk tingkah laku yang kongkrit dan dapat diamati yang berhubungan dengan tipe orang tersebut.
c) Definisi Operasional Tipe C
Definisi operasional tipe C dapat dirumuskan dalam bentuk deskripsi obyek atau fenomena tentang seperti apa atau terdiri dari apa cirri-ciri statis obyek atau fenomena tersebut.
Dalam penilitian pendidikan banyak definisi operasional yang didasarkan pada cirri-ciri statis yang dimiliki oleh orang atau keadaan yang pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan tes atau skala yang lain. Definisi operasional tipe C mendeskripsikan kualitas unsure-unsur atau karakteristik orang tatau barang. Oleh karena itu, definisi tipe ini dapat dipergunakan untuk setiiap tipe variabel yang tidak dimanipulasikan.
Definisi operasional merupakan dasar bagi penjabaran variabel ke dalam indicator-indikator, dan yang tersebut terakhir merupakan dasar bagi pembuatan alat ukur untuk mengumpulkan data. Tepat tidaknya alat ukur tergantung dari definisi operasional. Lebih lanjut, definisi operasional tergantung dari rumusan hipotesis, dan penetapan definisi operasional variabel, peneliti harus berpikir secara serius dan mengacu secara timbale balik antara konseptualisasi dan operasionalisasi.
3. Pengukuran Variabel
Apabila seseorang peneliti telah menetapkan suatu masalah, merumuskan hipitesis, dan mengidentifikasi variabel-variabel, maka ia menghadapi pertanyaan tentang bagaimana mengukur variabel-variabel yang akan dicapai dalam hipotesis tersebut. Dalam suatu hipotesis mungkin dapat diangkat beberapa variabel, akan tetapi mungkin tidak semuanya dapat diukur oleh peneliti. Dalam hal demikian, peneliti harus merumuskan kembali hipotesisnya sehingga variabel-variiabel yang terkait di dalamnya dapat diukur.
Untuk variabel-variabel tertentu, seperti panjang tongkat atau jenis kelamin siswa, pengukurannya jelas dan sederhana. Akan tetapi dalam banyak hal, seperti tingkah laku manusia atau aspek-aspek psikologis, masalah pengukuran sedemikian abstrak dan rumit sehingga menuntut upaya yang cermat dan serius dari pihak peneliti.
Di dalam penelitian, prosedur dan teknik untuk mengukur variabel perlu ditetapkan dengan cermat agar dapat menghasilkan data yang benar. Upaya tersebut meliputi pendefinisian variabel secermat dan seoprasional mungkin, perancangan skala pengukuran, pembuatan alat ukur (instrument), pengecekan validitas dan reliabilitas instrument.
a) Arti Pengukuran
Pengukuran (measurement) adalah prosedur penetapan angka untuk mewakili kuantitas cirri (atriout) yang dimiliki oleh subjek dalam suatu populasi atau sampel. Dalam variabel kecerdasan siswa, misalnya, kecerdasan atribut dan siswa adalah subjek. Dalam pengukuran kecerdasan siswa angka-angka dipergunakan untuk mewakili kuantitas kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswa.
b) Skala Pengukuran
Sebelum peneliti menetapkan untuk menyusun instrument sebaiknya perlu mengetahui lebih dahulu berbagai jenis skala pengukuran. Dapat tidaknya suatu prosedur analisis statistik diterapkan untuk mengolah dan menganalisis hasil pengukuran, tergantung juga dari jenis skala pengukuran yang digunakan. Berbagai skala pengukuran dapt dikelompokkan kedalam empat tingkatan, yaitu :
1) Skala Nominal
Jika angka-angka dalam rentangan skala pengukuran hanya berfungsi sebagai pengganti nama (label) atau kategori, tidak menunjukkan suatu kuantitas, maka skala pengukurannya disebut nominal. Angka-angka pada skala nominal tidak merupakan urutan dalam suatu kontinum, melainkan menunjukkan kategori-kategori yang terlepas satu dengan yang lain.
2) Skala Ordinal
Jika angka-angka dalam rentangan skala pengukuran tidak hanya menunjukkan kategori-kategori, tetapi juga menunjukkan hubungan kuantitas tertentu, yakni gradasi, maka skala pengukurannya disebut ordinal. Dalam skala ordinal ;
a. Sekelompok subjek disusun berturut-turut mulai dari yang paling tinggi (besar,kuat,baik) sampai kepada yang paling rendah (kecil,leah,jelek) dalam hal atribut yang diukur.
b. Angka-angka tidak menunjukkan “seberapa besar” (kuantitas) dalam arti absolute.
c. Tidak ada kepastian tentang sama atau tidaknya jarak-jarak (perbedaan-perbedaan) antara angka-angka yang berurutan.

3) Skala Interval
Jika angka-angka dalam skala pengukuran tidak hanya menunjukkan hubungan kuantitatif dalam gradasi (ranking) tetapi juga menunjukkan bahwa jarak atau perbedaan kuantitas antar dua angka yang berurutan selalu sama, maka skala pengukurannya disebut interval. Dalam skala interval :
a. Angka-angka ranking (rank-order) ditetapkan berdasarkan atribut yang diukur.
b. Jarak atau perbedaan kuantitas antar angka-angka yang berurutan selalu sama.
c. Tidak ada kepastian tentang kuantitas absolute, sehingga tidak diketahui dimana letak angka nol absolute.
4) Skala Rasio
Jika dalam skala interval, nilai nol absolute (ukuran kuantitas absolute) diketahui dengan pasti, maka disebut skala absolute. Dengan demikian, dalam skala rasio :
a. Angka-angka yang menunjukkan ranking (rank order) telah ditentukan sebelumnya berdasarkan atribut yang diukur.
b. Interval (jarak) antar angka-angka yang berurutan menunjukkan jarak yang sama.
c. Mempunyai nilai nol absolute, artinya jarak antara tiap angka dalam skala dengan titik nol absolute dapat diketahui secara eksplisir atau secara rasional














DAFTAR PUSTAKA
Dasar-dasar Metodologi Penelitian ………………………..
Sudarto, Drs. 1996. Metodologi Penelitian Filsafat. PT. Grafindo Persada: Jakarta
Sugiyono, Prof.Dr., 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Alfabeta: bandung
Sukidin, Basrowi, Suranto. 2004. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Insan Cendekia. Surabaya





















MAKALAH
METODOLOGI PENELITIAN KUANTITATIF
HIPOTESIS DAN VARIABEL



Sebagai Syarat Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kuantittatif

Disusun Oleh :
1. MUHAMMAD ARDIANSYAH (NIM. 100331508028)
2. MOELIAWAN KRESNANTO (NIM. 100331509399)



PPS PENDIDIKAN KIMIA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
-2011-

BECOMING A TEACHER


MAKALAH
LANDASAN PENDIDIKAN
BECOMING a TEACHER
(MENJADI SEORANG GURU)
Sebagi Prasyarat Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan
By :
1.    MUHAMMAD ARDIANSYAH (100331508028)
2.    RIRIS ANDRIANI (100331508029)

PPS PENDIDIKAN KIMIA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
-2011-







BAB 1. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha manusia secara sadar untuk menumbuh-kembangkan kepribadian dan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Usaha sadar itulah yang menandakan adanya sifat kesengajaan dari pendidikan.
Pendidikan bertujuan membantu manusia untuk mencapai kekuasaan dan kematangan individu atau pribadinya, sehingga mampu menghadapi segala perubahan dan permasalahan dengan sikap terbuka, yang secara sistematik terarah pada perubahan tingkah laku menuju kedewasaan pada diri seseorang atau individu. Oleh karenanya pendidikan nasional Indonesia selain bertujuan membentuk warga negara yang baik juga bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan bangsa merupakan salah satu kebutuhan primer bagi tegak dan kokohnya suatu negara di samping kebutuhan primer yang lain. Sehingga di dalam Undang-undang Dasar 1945 dicantumkan salah satu tujuan negara yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Dalam dunia pendidikan guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan. Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri..
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu  pendidikan  di  suatu  sekolah  sangat  ditentukan  oleh  kemampuan  yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Guru adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan   sentral   serta   sumber   kegiatan   belajar   mengajar.  Lebih lanjut dinyatakan   bahwa   guru merupakan   komponen   yang   berpengaruh   dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan.
Masyarakat menempatkan guru pada suatu tempat yang lebih terhormat di dalam  lingkungannya.  Karena  dari  seorang  guru  masyarakat  diharapkan  agar dapat memperoleh ilmu pengetahuan, terlebih bagi kelangsungan hidup bangsa di tengah-tengah lintasan kemajuan perkembangan teknologi yang makin canggih dengan segala perubahan serta pergeseran nilai yang cenderung memberikan nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni dalam kadar dinamik untuk mengadaptasikan diri.
Meninjau latar belakang diatas perlu deskripsi mengenai seseorang yang menjadi guru sebagai pilihan pekerjaan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah “Guru” itu ?
2.      Bagaimanakah Guru yang efektif ?
3.      Apakah tantangan guru dalam pembelajaran ?

C.    Tujuan
Tujuan yang diharapkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui profil guru
2.      Untuk mengetahui guru yang efektif
3.      Untuk mengetahui  tantangan-tantangan guru dalam pembelajaran

BAB 2. PEMBAHASAN
1.      Siapakah Guru itu ?
A.    Guru
Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri..
Sehingga jika kita berbicara tentang pendidikan, rasanya belum sempurna kalau kita belum berbicara tentang guru. Sebab dalam kondisi bagaimanapun guru tetap memegang peran penting dalam perkembangan pendidikan. Demikian halnya dalam kemajuan IPTEK dan perkembangan global, eksistensi guru sangat penting kiprahnya karena peran guru tidak seluruhnya dapat digantikan oleh teknologi. Canggihnya teknologi komputer saat ini masih belum mampu menggantikan keberadaan guru, sebab komputer tidak dapat diteladani bahkan bisa menyesatkan jika penggunaanya dilakukan tanpa kontrol. Fungsi kontrol ini pulalah yang memposisikan figur guru sebagai sosok yang penting dalam kemajuan pendidikan.
Seorang guru harus kreatif dalam memilih dan memilah, serta mengembangkan materi pembelajaran sehingga dapat menyentuh kebutuhan peserta didik. Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber informasi bagi peserta didik, akan tetapi guru hanyalah salah satu sumber saja. Hal inilah yang mesti dicermati oleh seorang guru dengan mengasah kreativitasnya sehingga dapat memposisikan diri dalam membantu perkembangan peserta didiknya.    
Dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya mendongkrak kualitas pembelajaran yang pada akhirnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan memposisikan dirinya sebagai;
1. Orang tua, yang penuh kasih saying pada peserta didiknya.
2. Teman, tempat mengadu dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.
3. Fasilitator, yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan dan bakatnya.
4. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
5. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.
6. Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan dengan orang lain secara wajar.
7. Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.
8. Mengembangkan kreativitas.
9. Menjadi pembantu ketika diperlukan.
Demikian beberapa peran yang harus dijalani seorang guru dalam mengoptimalkan minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki oleh para siswanya.
B.     Alasan Seorang Guru Memilih Menjadi Guru
Menjadi guru adalah pekerjaan yang sungguh mulia. Ia bertanggung jawab tidak hanya menjadikan para anak manusia pandai di bidang ilmu pengetahuan, akan tetapi juga bermoral yang baik dalam kehidupan ini. Seorang anak manusia yang pada mulanya tidak mengerti apa-apa, di hadapan seorang guru dididik untuk memahami kehidupan secara lebih baik dan mengenal dunia. Di pundaknyalah ada tugas dan tanggung jawab keberlangsungan masa depan generasi yang lebih cerdas dan berperadaban.
Begitu mulia pekerjaan seorang guru sekaligus betapa berat tugas dan tanggung jawab menjadi seorang guru. Inilah mengapa tidak semua orang bisa menjadi seorang guru yang berhasil. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai rasa cinta terhadap anak-anak atau peserta didik dan berdedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan saja yang mampu untuk menjadi seorang guru. Inilah pribadi seorang guru yang berhasil mengajar sekaligus mendidik di hadapan murid-muridnya. Sosok seorang guru favorit yang dicintai oleh anak didiknya.
Pada hakikatnya menjadi seorang guru adalah panggilan jiwa, pahlawan tanpa tanda jasa, julukan yang memiliki makna bahwa guru membutuhkan keikhlasan dalam menjalani tiap pengabdian untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, atau lebih familiar dengan istilah memanusiakan manusia. Maka tak ada yang lebih penting bagi para guru saat ini selain merekonstruksi pola pikir mereka agar dapat meyakini pilihan yang mereka ambil untuk menjadi guru, seseorang yang digugu dan ditiru, serta menjadi panutan bagi para siswanya. Contoh yang paling sederhana yang dapat dilakukan, misal dengan menghilangkan bussines oriented dalam proses pembelajaran, jangan menjadi distributor buku-buku pegangan siswa dengan harapan memperoleh keuntungan dari penerbit, selanjutnya lebih menyenangi proses kreatif dalam mencari, menyampaikan, dan menerjemahkan informasi kepada siswa dengan metode yang menarik, serta berusaha untuk tidak arogan dan melakukan tindakan tidak bermoral kepada siswa. Atau dengan kata lain seorang guru professional harus mampu mengkesampingkan ego pribadinya demi tercapainya tujuan pendidikan terhadap siswa.
Secara umum guru di Amerika mempunyai beberapa alasan untuk menjadi seorang guru, antara lain :
·         Orang tua saya seorang guru dan menginginkan saya sebagai seorang guru
·         Saya menyukai bidang tertentu dan menginginkan siswa suka hal yang sama dengan bidang saya
·         Saya menyukai anak-anak
·         Saya menyukai melakukan sesuatu dan menceritakan kepada orang lain apa yang saya lakukan
·         Saya menginginkan menjadi kepala sekolah atau seorang professor dan langkah pertama saya adalah menjadi seorang guru
·         Saya tidak tahu hal lain diluar bidang saya
·         Saya ingin menciptakan hal yang lebih baik dilingkungan sekolah
·         Saya hanya ingin menjadi seorang guru, tapi tidaj tahu kenapa
·         Saya menyukai guru saya dan saya ingin menjadi seperti dia
·         Saya ingin melakukan sesuatu yang berbeda dan punya kontribusi dilingkunan ssosial
C.     Kompetensi Guru
Secara ekplisit peraturan pemerintah (PP) nomor 74 tahun 2008 pasal 2 menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut maka seorang guru dituntut untuk  memiliki komptensi yang memadai. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasi oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Mengacu pada definisi tersebut, maka terdapat 4 (empat) macam kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai tenaga kependidikan yang profesional, Kompetensi tersebut adalah kompetensi paedagogik, kompetensi personal, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Kompetensi Paedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola  pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: (1) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, (2) pemahaman terhadap peserta didik,  (3) pengembangan kurikulum atau silabus, (4) perancangan pembelajaran, (5) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, (6) pemanfaatan teknologi pembelajaran, (7) evaluasi hasil relajar, dan (8) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang   dimilikinya.
Kompetensi personal adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi dan temperamen seseorang yang akan terwujud dalam tindakan jika dihadapkan pada situasi tertentu. Kompetensi kepribadian sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang: (1) beriman dan bertakwa, (2) berakhlak mulia (3) arif dan bijaksana, (4) demokratis, (5) mantap, (6) berwibawa, (7) stabil, (8) dewasa, (9) jujur, (10) sportif, (11) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (12) secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan (13) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi profesional adalah kemampuan guru dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan menilai sesuai dengan bidang studi yang diampu. Kompetensi profesioan yang diharapkan meliputi penguasaan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya dan sekurang-kurangnya meliputi penguasaan: (1) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan,mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu, dan (2) konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk mengajak dan merespon orang lain dengan perasaan positip dan dapat berinteraksi dengan baik. Kompetensi sosial sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk: (1) berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun, (2) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, (3)bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik, (4) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku, dan (5) menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
D.    Tugas dan Peran Guru Dalam Mendidik Siswa
D.1 Tugas Guru
Guru memiliki tugas yang beragam yang berimplementasi dalam bentuk pengabdian. Tugas tersebut meliputi bidang profesi, bidang kemanusiaan dan bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
Tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua. Dimana ia harus menarik simpati dan menjadi idola para siswanya. Adapun yang diberikan atau disampaikan guru hendaklah dapat memotivasi hidupnya terutama dalam belajar. Bila seorang guru berlaku kurang menarik, maka kegagalan awal akan tertanam dalam diri siswa.
D.2. Peran Guru
Guru memiliki peran yang sangat vital dan fundamental dalam membimbing, mengarahkan, dan mendidik siswa dalam proses pembelajaran (Davies dan Ellison, 1992). Karena peran mereka yang sangat penting itu, keberadaan guru bahkan tak tergantikan oleh siapapun atau apapun sekalipun dengan teknologi canggih. Alat dan media pendidikan, sarana prasarana, multimedia dan teknologi hanyalah media atau alat yang hanya digunakan sebagai teachers’ companion (sahabat – mitra guru).
Guru memiliki peran yang amat penting, terutama sebagai agent of change melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, dengan adanya sertifikasi diharapkan guru agar dapat lebih berperan secara aktif, efektif dan profesional. Hal tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan, ketika guru tidak memiliki beberapa persyaratan, antara lain keterampilan mengajar (teaching skills), berpengetahuan (knowledgeable), memiliki sikap profesional (good professional attitude), memilih, menciptakan dan menggunakan media (utilizing learning media), memilih metode mengajar yang sesuai, memanfaatkan teknologi (utilizing technology), mengembangakan dynamic curriculum, dan bisa memberikan contoh dan teladan yang baik (good practices) (Hartoyo dan Baedhowi, 2005).
1)        Teaching Skills
Guru yang profesional dapat dilihat dari keterampilan mengajar (teaching skills) yang mereka miliki. keterampilan mengajar yang dimiliki guru dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain:
2)        Knowledgeable
Guru harus memiliki pengetahuan dan menguasai materi yang diampu secara memadai, karena pengetahuan merupakan faktor utama dalam membentuk profesionalisme seseorang.
3)        Professional attitude
Sikap sangat berpengaruh terhadap profesionalisme sesorang guru. Sikap tersebut antara lain: (1) independence – mandiri dan tidak selalu tergantung pada orang lain, dan (2) continuous self-improvement.
4)        Learning equipment/media
Guru dituntut mampu memilih, menggunakan dan bahkan menciptakan media pembelajaran. Media sedapat mungkin disediakan secara memadai dan lengkap (sufficient and complete), baik media/alat peraga sederhana maupun modern. Tanpa perlengkapan dan media yang memadai, pembelajaran tak mampu memberikan hasil yang optimal.
5)        Technology
Guru diharapkan mampu memanfaatkan TIK, karena teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan memiliki peran sangat penting, karena dapat membuat pembelajaran lebih bervariasi dan hidup (teaching more colourfull), apalagi jika diintegrasikan dengan multimedia. 
6)        Curriculum
Guru harus menguasai dan mampu mengembangkan kurikulum yang responsive, yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat, dynamic (berkembang sejalan dengan perkembangan jaman), dan flexible yang dapat diadaptasikan dalam berbagai situasi dan kondisi, serta sesuai dengan kebutuhan siswa (students needs) merupakan suatu kebutuhan.
7)        Good examples/practices
Pendidikan akan efektif apabila dibarengi dengan contoh atau teladan yang baik pula. Pemberian teladan yang baik oleh guru menuntut guru untuk senantiasa melakukan yang terbaik dan bertindak secara professional.

2.      Bagaimanakah Guru yang efektif ?
A.    Opini publik
Menjadi seorang guru merupakan sebuah pilihan yang krusial bagi sebagian orang, perlu pemikiran matang dan kesanggupan dalam tiap pengabdian karena konsekuensi yang harus ditanggung yaitu kesiapan untuk menjadi sumber informasi sekaligus menjadi penutan bagi para muridnya. tetapi ironisnya menjadi seorang guru justru cenderung dipandang sebelah mata, sehingga muncul asumsi dari masyarakat bahwa profesi guru tidaklah begitu menantang, siapa saja bisa menjadi guru, tidak harus lulusan dari LPTK tetapi lulusan dari berbagai disiplin ilmu di universitas negeri maupun swasta non LPTK dengan mudah bisa mendapatkan lisensi untuk menjadi seorang guru asalkan dia memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi kepada para murid, dengan prasyarat berupa mengikuti program akta empat selama satu tahun kemudian bisa melengang dengan mudah sebagai seorang “guru instant”.
Asumsi ini sangatlah salah kaprah dan perlu di rekonstruksi, sejatinya tugas dan tanggungjawab seorang guru tidaklah semudah hanya sebatas mengajar siswa, tetapi ada hal yang lebih penting yaitu dia juga berkewajiban untuk mendidik siswa sehingga siswa tersebut dapat memanfaatkan ilmu yang dimiliki untuk mengembangkan potensi yang dibutuhkan dalam kehidupannya di lingkungan masyarakat. Tugas mengajar berkaitan dengan transformasi penegatahuan dan keterampilan kepada siswa, sedang tugas mendidik adalah tugas yang berkaitan dengan peran guru sebagai transformator dan penerjemah nilai-nilai dalam rangka membentuk pribadi yang baik dalam diri siswa.
Secara umum sebagai manusia biasa, guru selaku pendidik memanglah tidak sempurna sehingga memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Namun yang menjadi pertanyaan kini adalah keterbatasan tersebut dapat ditolerir ataukah tidak? keterbatasan relative semisal penguasaan materi, alat-alat pembelajaran dapat ditolerir sejauh guru tersebut mau untuk memperbaiki dan mengurangi keterbatasannya tersebut, akan tetapi apabila keterbatasan tersebut mengakibatkan putusnya interaksi antara guru dan siswa serta guru yang tidak bermoral termasuk keterbatasan yang tidak dapat ditolerir, karena pendidikan pada dasarnya adalah usaha yang dilandasi oleh moral. Kesemuanya itu dapat dirubah asalkan ada kemauan dan usaha dari mereka untuk megatsai keterbatan-keterbatasan tersebut, adapun awal dari proses tersebut adalah dengan rekontruksi pola pikir.
B.     Menjadi Guru Profesional
Pada hakikatnya, pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan yang mulia, yang sangat berperan dalam pengembangan sumber daya manusia. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka perlu ditekankan bahwa yang layak menjadi guru adalah orang-orang pilihan yang mampu menjadi panutan bagi anak didiknya. Hal ini sesuai dengan hakikat pekerjaan guru sebagai pekerjaan profesional, yang menurut Darling-Hamond & Goodwin (1993) paling tidak mempunyai tiga ciri utama. Ketiga ciri tersebut adalah: (1) penerapan ilmu dalam pelaksanaan pekerjaan didasarkan pada kepentingan individu pada setiap kasus, (2) mempunyai mekanisme internal yang terstruktur, yang mengatur rekrutmen, pelatihan, pemberian lisensi (ijin kerja), dan ukuran standar untuk praktik yang ethis dan memadai; serta (3) mengemban tanggung jawab utama terhadap kebutuhan kliennya.
Peningkatan kualitas profesional guru ditujukan pada peningkatan lima kompotensi dasar, yaitu penguasaan materi pelajaran yang akan diajarkan, pemahaman terhadap pembelajar, pemahaman terhadap prinsip-prinsip keterampilan mengajar dan penerapannya dalam praktik, pemahaman terhadap cabang-cabang pengetahuan lainnya, dan pemahaman serta apresiasinya terhadap profesi keguruan (CSMTP, 2000:2-5). Berikut adalah uraian singkat dari masing-masing kompetensi tersebut.
Pemahaman terhadap materi pelajaran. Materi pelajaran merupakan komponen esensial dari pengetahuan guru. Jika mengajar adalah membantu siswa belajar, maka pemahaman terhadap apa yang akan diajarkan merupakan kebutuhan sentral dalam pembelajaran.
Pemahaman terhadap pembelajar. Komponen kedua yang esensial bagi tugas-tugas mengajar dan mendidik guru sains adalah pemahaman terhadap pembelajar. Yang dimasudkan dengan pemahaman terhadap pembelajar adalah pemahaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia.